Mari Menjadi Guru Besar-Oleh Abah Hamid
Sulitkah menjadi guru besar?
Tanyakan pertanyaan itu pada para dosen di sekitar anda. Jawabannya hampir pasti: SUSAH.
Muncul berbagai alasan, seperti: merasa belum saatnya, susah mengumpulkan kum, pertanggungjawabannya sulit, harus menemukan teori baru, merasa kurang arif dan bijaksana, atau yang sering saya dengar dari dosen-dosen cemerlang: malas mengumpulkan berkas-berkas administratif dan berhadapan dengan birokrasi kampus.
Hmm, mari kita tanyakan pada Eko Prasojo atau Agung Endro Nugroho. Eko, menjadi Guru Besar di FISIP UI pada usia 35 tahun 10 bulan. Pada usia 43 tahun, Eko diangkat menjadi Wakil MenPAn-RB. Sampai sekarang, Eko masih tetap membimbing skripsi (http://ekoprasojo.com/2012/06/04/eko-prasojo-tetap-jadi-dosen-pembimbing-skripsi/). Silahkan juga lihat pidato pengukuhan Guru Besar Eko yang di bagian akhir terdapat riwayat hidupnya. Tahun 1997 menjadi PNS Dosen, tahun 2002 Asisten Ahli, tahun 2004 naik ke Lektor dan tahun 2006 lompat ke Guru Besar. Hanya butuh 9 tahun dari sejak berstatus dosen tetap hingga jadi Guru Besar.
Contoh lain adalah Agung Endro Nugroho yang menjadi Guru Besar di usia 36 tahun (kelahiran 15 Januari 1976) pada 1 Oktober 2012 di Fakultas farmasi UGM.
Tentu saja Eko dan Agung tak lantas menjawab bahwa menjadi guru besar adalah soal gampang. Butuh kerja keras untuk menghasilkan karya-karya akademik bereputasi di level nasional maupun internasional. Usia muda digunakan secara produktif untuk berkarya dan bukan sekedar mengejar jabatan-jabatan di kampus, ngobyek sana-sini atau menjadi selebritis. Tentu saja juga mengajar dan membimbing mahasiswa dengan baik dan bertanggungjawab
Tentu saja Eko dan Agung tak lantas menjawab bahwa menjadi guru besar adalah soal gampang. Butuh kerja keras untuk menghasilkan karya-karya akademik bereputasi di level nasional maupun internasional. Usia muda digunakan secara produktif untuk berkarya dan bukan sekedar mengejar jabatan-jabatan di kampus, ngobyek sana-sini atau menjadi selebritis. Tentu saja juga mengajar dan membimbing mahasiswa dengan baik dan bertanggungjawab
Hanya ada 4 (empat) anak tangga dalam karir profesional seorang dosen (baca: jabatan fungsional) : Asisten Ahli – Lektor – Lektor Kepala – Profesor/ Guru Besar. Masing-masing jenjang bisa dicapai dengan mengumpulkan angka kredit (kum) sebagai berikut (sesuai lampiran II PerMenpan 17 2013 )
Logika yang dipakai dalam dunia karir perdosenan adalah, jabatan fungsional mendahului golongan. Jika seorang dosen naik dari asisten ahli IIIa ke lektor dan ternyata mampu mengumpulkan kredit sebesar 315, maka ia akan menjadi lektor dengan kum 300 (sisa 15). Artinya ia berhak naik ke golongan IIIb, IIIc dan IIId TANPA perlu mengumpulkan kredit (kum) lagi setiap dua tahun secara berkala dan berkelanjutan, hanya berkas penunjang saja. Tapi bila ia hanya mengumpulkan kum sebesar 205, maka ia jadi lektor 200 (sisa 5) sehingga hanya berhak naik secara berkala dan berkelanjutan setiap dua tahun sampai IIIc saja. Jika ia mau ke golongan IIId dari IIIc, maka ia HARUS mengumpulkan kum sebesar 300-205 = 95.
Contoh lain adalah ketika saya yang masih golongan IIIB mendapatkan SK Lektor Kepala. Dalam lampiran SK tercantum:
Jadi, pangkat/golongan saya akan naik otomatis setiap dua tahun. Otomatis disini artinya tidak perlu mengajukan angka kredit, namun tetap saja berkoordinasi dengan pihak kepegawaian kampus.
Ruwet? Tapi kalau dijalani, tidak juga kok. Hanya saja memang selain produktif, dosen perlu rajin dan telaten mengumpulkan setiap berkas seperti SK, surat tugas, karya ilmiah, sertifikat-sertifikat (pembicara, penyaji, moderator, dll) karena pasti dibutuhkan untuk kenaikan jabatan fungsional.
Nah penting juga dipahami, masih ada anggapan dan tahayul di sebagian orang yang menganggap bahwa kenaikan ke Guru Besar mensyaratkan golongan IVc atau IVd. Sampai sekarang tidak ada peraturan tertulis seperti itu. Kemudian, itu adalah penafsiran keliru terhadap tabel diatas, seakan-akan Jabatan Fungsional HANYA bagi mereka yang sudah IVd dan IVe. Cara membaca tabel tersebut persis seperti lampiran SK Lektor kepala di atas. Jadi kalau anda mendapatkan SK Guru Besar/ Profesor, maka akan ada tulisan dalam lampiran SK: “….dapat dinaikkan pangkatnya secara bertahap menjadi….” sesuai dengan angka kredit yang diakui dalam SK Guru Besarnya. Misalnya kalau anda jadi Guru Besar dengan kum 900 maka anda hanya bisa naik golongan sampai IVd dan butuh mengumpulkan kum ketika akan naik dari IVd ke IVe.
Menurut saya, pekerjaan dosen adalah pekerjaan yang amat fair. Cepat atau lambatnya karir seorang dosen ditentukan oleh seberapa produktif ia menghasilkan karya ilmiah (penelitian), mengajar dan melakukan pengabdian pada masyarakat. Bobot karya ilmiah dan pengajaran memiliki prosentase terbesar dalam penghitungan kredit. Mengajar, tentu saja sebuah kewajiban, namun maksimal mengajar hanya 12 SKS setiap semester dan nilai maksimalnya (bagi Lektor dan Lektor Kepala) hanya 11 angka kredit saja.
Jadi kesempatan melakukan lompatan adalah dengan menghasilkan publikasi ilmiah bereputasi. Semakin berbobot sebuah karya semakin besar nilai kredit yang diperoleh. Katakanlah, satu buah artikel di jurnal internasional dihargai 40 kredit, jurnal nasional terakreditasi dikti 25 kredit dan jurnal nasional (baca: ber-ISSN) dinilai 10 kredit. Artinya jika seorang dosen produktif menulis di jurnal internasional akan lebih cepat dia menjadi guru besar dibandingkan seorang dosen yang “hanya”mampu menulis di jurnal nasional saja. Oh ya, untuk menjadi guru besar juga harus bergelar doktor, wajar inimah.
Nah, berbagai aturan juga memberi insentif untuk mereka yang berprestasi. Sebagai contoh, jika kita mampu menulis di jurnal internasional,ada banyak kemudahan seperti loncat jabatan fungsional sampai naik jabatan fungsional lebih cepat. Tentu saja asalkan kredit-nya (kum) mencukupi. Saya sudah membuktikan dengan (masih aturan lama) mengajukan kenaikan ke Lektor Kepala walaupun baru satu setengah tahun menjadi Lektor, karena memiliki artikel di Jurnal terakreditasi Dikti dan memiliki kum yang mencukupi.
Nah, selain mencukupi kum, apa sih syarat dosen mencapai jenjang Guru Besar (Permenpan 46 2013 (pasal 26 ayat 3):
ditambah:
Hmm. Jadi jika anda dosen serius, kira-kira anda sudah tahu sekarang berada di posisi mana dan kapan jadi Profesor kan? Memahami aturan ini penting, seperti misalnya: anda sedang kuliah S3, sedang aktif-aktifnya nulis di Jurnal Internasional (sekarang diakui dikti lho, baca suratnya disini), tapi ingin keluar dari jebakan “bisa mengajukan ke guru besar paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor (S3)”.
Caranya ya mengatur ritme publikasi. Karena selama kuliah publikasi di jurnal internasional dan jurnal terakreditasi diakui, maka melakukan publikasi di jurnal internasional bisa menggugurkan satu syarat sulit. Nah, tinggal mengatur ritme, dengan melakukan satu publikasi internasional selepas tanggal mendapatkan ijazah Doktor.
Walaupun yang amat disayangkan, dengan aturan baru tersebut, tak ada yang bisa jadi Profesor dengan pengalaman kerja kurang dari 10 tahun, setidaknya memecahkan rekor Eko yang sejak jadi dosen tetap sampai jadi profesor hanya butuh 9 tahun.
Oh ya, satu hal yang amat penting, menjadi Guru Besar bukan soal menaikkan gengsi, walaupun tentu saja keren juga jadi bagian dari 3% dari keseluruhan populasi dosen di Indonesia . Secara finansial, seorang guru besar bisa mendapatkan penghasilan empat kali gaji pokok: gaji pokok + tunjangan sertifikasi dosen satu kali gaji pokok + tunjangan kehormatan gubes dua kali gaji pokok. Semuanya halal dan thoyyibah :).
Saya tidak mendorong para dosen untuk menjadi mata duitan. Jumlah ini tidak terlalu besar dibandingkan jika kita bekerja di perusahaan swasta bergengsi atau multinasional corporation. Tapi jumlah ini rasanya cukup untuk membuat guru besar betah di kampus, meneliti dengan serius, melakukan publikasi dan mengajar dengan dedikasi tinggi tanpa harus pusing memikirkan biaya sekolah anak atau kredit sepeda motor.
Jadi, Guru Besar sebetulnya tak punya alasan lagi ngobyek atau mengamen sana-sini, jadi konsultan palu gada (apa yang elu mau gue ada) sikut sana-sini berebut jabatan kajur atau dekan, jadi selebritis di tipi-tipi atau melamun terus berharap mendapat remunerasi. Kita bisa menjaga integritas sebagai intelektual dan fokus pada pekerjaan utama: mengembangkan ilmu pengetahuan.
Bagi institusi banyaknya Guru Besar juga pastinya bermanfaat untuk akreditasi dan pengembangan institusi. Sebaliknya, institusi yang tak peduli dengan perencanaan karir dosen-dosennya juga bisa mengalami masalah. Belum lama ini saya mendengar sebuah prodi S3 favorit di kampus favorit di Indonesia terancam ditutup karena Guru Besarnya sudah dan akan pensiun segera semua (terakhir satu juga meninggal dunia) dan belum ada dosen yang memenuhi syarat untuk jadi Guru Besar. Miris kan?
Nah bagaimana kewajiban Profesor? Secara administratif, kewajiban khusus Profesor juga tidak sulit-sulit amat, dalam lima tahun seorang guru besar “hanya” diharuskan menghasilkan satu buah buku, satu tulisan dalam jurnal internasional dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui berbagai forum ilmiah. walaupun tentu saja kewajiban khusus ini mesti dibaca sebagai produktifitas minimal, mosok lima tahun cuma nulis satu artikel sih ?
(Baca tulisan soal kewajiban Guru Besar disini)
Jadi, untuk para dosen (termasuk aku juga atuh), tak ada alasan untuk bermalas-malasan kan? mari jadi guru besar
Tulisan ini tujuannya menyemangati ya, biar semangat dalam segalanya.
NB. Monggo pelajari panduan operasional perhitungan angka kredit disini ya.
Comments
Post a Comment