NTT (Masih) Miskin?
NTT (Masih) Miskin?
REP | 14 April 2012 | 09:02
Menggembirakan. Sebuah Koran lokal di NTT menurunkan sebuah berita, Garis Kemiskinan di NTT Menurun. Hasil evaluasi indicator kemiskinan di Nusa Tenggara Timur yang diukur melalui garis kemiskinan (jumlah konsumsi minimum) menunjukkan ada penurunan yang mengembirakan. Pada tahun 2006 menempati angka kemiskinan pada 29,34%, turun menjadi 27,51% pada tahun 2007. Pada tahun 2008 turun menjadi 25,65% dan menjadi 23,31% di tahun 2009. Kemudian menurun lagi pada tahun 2010 menjadi 23,03% dan menjadi 20,48 pada Maret 2011. Kondisi ini menunjukkan penurunan yang cukup positif. Secara agregat presentasi penduduk miskin di NTT mengalami penurunan 2,55% jika dibandingkan dengan tahun 2010. Penurunan garis kemiskinan ini pula menggambarkan 26,4 ribu lebih orang telah terangkat melewati garis kemiskinan dalam kurun waktu Maret 2010 sampai dengan September 2011. Sekiranya sasaran penurunan jumlah pendudukan miskin di NTT sebesar 16,43% di tahun 2013 tercapai.
Pemerintah semakin optimis angka kemiskinan bisa ditekan dengan program – program pembangunan yang pro rakyat. Program desa/kelurahan Mandiri Anggur Merah merupakan salah satu obat pemberantas kemiskinan yang bertujuan menurunkan kemiskinan di setiap desa/kelurahan 50 – 70% pada tahun 2013.
The hidden paradise of east Indonesia
Sebagai bahan analisa secara mendalam, provinsi yang terkenal dengan Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata) ini memiliki potensi alam yang mendukung. Perkebunan, tanaman pangan, kehutanan, perikanan, pertambangan dan koperasi merupakan potensi dan peluang investasi yang perlu concern pemerintah. Hasil – hasil perkebunan di NTT seperti kelapa yang memiliki luas 159.631 Ha dengan jumlah produksi 62.164 ton/p.a pada tahun 2009, kopi (70.193 Ha dan 20.473 ton), cengkeh (13.700 Ha dan 1.524 ton), kakao (45.129 Ha dan 12.247 ton), jambu mete (170.827 Ha dan 39.869 ton), dan kemiri (79.124 Ha dan 21.407 ton). Tanaman pangan antara lain, padi (luas lahan 607.358 Ha dengan produktivitasnya 381.056 ton), jagung (dengan luas lahan 319.647 dan 638.899 ton), ubi kayu (92.606 dan 913.053 ton), dan ubi jalar (luas lahan 12.247 dan 103.635 ton). Padang sabana yang luas turut menjamin keberlangsungan ternak sapi, kerbau, kuda, babi, kambing dan domba. Potensi alam lain seperti nikel (di Abort-Pantai Utara Belu, pegunungan Kongkong Kab Kupang), emas (Kaliwajo-Sikka, Waefuka-Lembata,Reo-Manggarai), tembaga (di Pantai Utara Belu, Wolowaru-Ende), dan pasir besi (Pantai Selatan, Nangapanda-Ende) adalah andalan utama sektor pertambangan.
Di lain pihak, pesona wisata sesungguhnya tidak kalah menarik dengan daerah lain di Indonesia. Ada perburuan ikan paus di Lamalera, danau tiga warna - Kelimutu, pemandian Air Panas di Mangeruda, Kampung Megalitikum Bena, Ngada, panorama taman laut dengan 17 pulau di Riung, dan Taman Nasional Komodo yang masuk dalam New7Wonders pada 2011. Di daratan Timor ada pantai Lasiana yang telah didandan Pemkot Kupang pada 1986, Air Terjun Oenesu yang berjarak 17 km dari kota Kupang, atau surganya para pemancing di pantai Tablolong yang berada di antara Pulau Rote dan Timor, atau juga “Eco-tourist” Baumata dengan kolam renang yang menyajikan air jernih dan segar di Kec. Kupang Tengah. Ada juga taman wisata alam pulau Menipo dan Taman Wisata Hutan Camplong di kaki Gunung Fatuleu. Hamparan pasir putih dan hitam di pantai Kolbano turut mempercantik wajah the hidden paradise of east Indonesia.
Di daratan Sumba, kecantikan NTT semakin indah dengan permainan ketangkasan melempar lembing-Pasola, ada keindahan pantai Nihiwatu dengan ombak besar ribuan mil, juga situs megalit Lai Tarung, situs Kamba Jawa dan Deru. Sedangkan daratan Alor ada pantai Mali, taman laut Pantar, serta keindahan pulau Ndana, pulau Do’o dan Batu Termanu di Rote. Selain itu para wisatawan tak mungkin berpaling sejenak dengan pesona budaya yang original dan kulturistik. Ada budaya Flores, Sumba, Timor, Alor dan Lembata. Juga terdapat tenun ikat, alat musik tradisional dan tarian daerah yang terpadu secara apik. Semuanya ini bagai surga tersembunyi di Indonesia Timur.
NTT (Masih) Miskin?
Meneropong kekayaan alam NTT, kita mungkin bertanya reflektif, mengapa NTT masih miskin? Kekayaan alam dan hasil – hasil bumi Flobamora sekiranya telah menghasilkan pendapatan domestic regional bruto (PDRB). Pada 2009 PDRB sebesar Rp 4,88 juta atau meningkat 0,82 persen dari tahun 2010. Pendapatan per-kapita secara nasional pada tahun 2009 sebesar Rp 20,96 juta menjadi 23,98 juta pada tahun 2010 atau naik sekitar 3,02 persen. Dengan demikian, pendapatan perkapita masyarakat NTT hanya seperlima pendapatan per kapita rata – rata nasional. Fakta, provinsi NTT berada pada posisi 32 dari 33 provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi.
Ironis, dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, provinsi “Sasando” ini masih terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi. Wabah korupsi di NTT kian marak. Korupsi ibarat tren baru di kalangan pejabat pemerintah daerah sampai desa. Mengapa? Perkaranya bukan soal moral yang bejat dan religiusitas yang rendah, tapi pola pikir (mindset) masyarakat dan pejabat bahwa menjadi pegawai, pejabat, aparat desa/lurah, minimal tidak boleh jalan kaki, ada kendaraan sendiri, ada rumah sendiri, ada “ini – itu”. Sedangkan kita tahu bahwa menjadi pemimpin, pejabat adalah pelayanan dan pengabdi masyarakat.
Akar Masalah
Menurut saya, substansi persoalan kemiskinan dan mental koruptif di NTT berakar pada pola pikir. Masyarakat NTT sebenarnya kaya. Hasil – hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan sungguh melimpah. Dari pendapatan ini mereka bisa mengkuliahkan anak – anak mereka baik di NTT maupun di luar NTT. Namun, pola hidup berfoya – foya, pesta pora dan budaya adat masih melekat kuat. Masih sangat jarang orang yang menabung. Di NTT, sedikit – sedikit pesta. Permandian anak mesti ada pesta. Penerimaan komuni pertama, pesta. Ada pesta perkawinan dan nikah. Ada pesta adat yang mengkurbankan beberapa ekor kerbau, sapi dan babi. Ada pesta masuk rumah baru. Ada pesta anak mau kuliah. Ada pesta anak wisuda. Pokoknya di NTT terlalu banyak pesta. Belum lagi pesta yang menyangkut keagamaan, tabisan imam baru, syukuran pentabisan imam baru yang tidak sedikit mengeluarkan biaya.
Budaya pesta dan hidup berfoya – foya ini diwariskan turun – temurun kepada generasi kini yang sedang jadi pejabat, PNS dan pegawai lainnya. Coba kita lihat, wisma NTT di bilangan Depok yang semestinya menjadi tempat penginapan bagi pejabat NTT yang sedang berkepentingan di Jakarta diubah menjadi tempat kos – kosan mahasiswa. Penghuninya pun bukan putra/I yang berasal dari NTT. Entah alas an apa, pejabat daerah yang ke Jakarta lebih doyan tinggal di hotel yang harganya mahal. Perhatikan, kalau oknum – oknum pejabat daerah – daerah di NTT yang sedang jalan – jalan ke Jakarta. Ibarat OKB, Orang Kaya Baru. Traktir sana – sini. Ini contoh sangat sederhana tapi mau mencerminkan begitulah orang NTT kalau jadi pejabat.
Solusi
Sejalan dengan gagasan para tokoh pemikir idealisme, saya sepakat bahwa cara untuk keluar dari kemelut kemiskinan di NTT adalah perubahan pola pikir. Banyak anak – anak NTT yang kuliah, D1 – S1 bahkan S2 di luar NTT, tetapi setelah mereka kembali ke NTT jarang yang melawan arus. Mereka cenderung statis dengan budaya dan kehidupan social masyarakat. Bahkan justru mereka terpenjara dalam lingkaran setan itu. Kuliah selesai, jadi PNS itu adalah doa para sarjana baru di NTT. Mentok – mentoknya menjadi babu (tenaga honorer) di lingkup lembaga atau dinas pemerintah. Maaf, mengapa menjadi babu? Iya, tak jarang para tenaga honorer yang notabene lulusan D3-S1 sebagai pembantu di kantor. Ibaratnya mereka merangkap cleaning service yang siap sedia setiap saat untuk beli makan buat para senior, pergi fotocopy, sapu kantor dan keperluan lain. Para sarjana ini tetap bertahan walau kadang tidak dibayar honornya beberapa bulan. Mereka bertahan hanya demi gensi social kalau mereka tidak bekerja di lingkungan pemerintah derajat social mereka turun. Akan tidak bedanya dengan orang kampung yang tidak sekolah andai mereka bekerja sebagai petani. Atau mereka akan dicap ‘tidak laku’ kalau ujung – ujungnya memegang cangkul.
Nah, untuk mengubah pola pikir masyarakat dibutuhkan orang yang berani dan bahkan setengah gila. Berani artinya ada kemauan keras untuk berubah dan setengah gila artinya ada konsisten dan siap melawan arus dan menerima tantangan. Masyarakat NTT kini membutuhkan para lulusan sarjana yang berintelektual handal, profetis dan visioner serta memiliki komitmen yang kuat akan perubahan.
Comments
Post a Comment